Membeli rumah dengan sistem KPR membantu banyak masyarakat untuk bisa memiliki hunian nyaman dan ideal. Fasilitas pembiayaan dari bank dan lembaga non-perbankan ini memiliki peran besar bagi kebanyakan orang. Mengambil kredit rumah merupakan komitmen jangka panjang. Oleh karena itu, Anda perlu perhitungan dengan cermat sebelum mengambil KPR, seperti memilih bank yang tepat, skema suku bunga yang sesuai dengan kondisi keuangan, dan menghitung kemampuan melalui simulasi KPR.
Namun, perjalanan hidup seseorang tidak selalu mulus dan lancar. Kerap kali anggaran keuangan yang sudah dibuat dengan tepat terkadang menjadi berantakan akibat peristiwa yang tidak terduga, seperti PHK, keluarga sakit, atau musibah lain yang membuat debitur tidak bisa membayar angsuran KPR. Belum lagi ketidakpahaman mengenai skema suku bunga KPR, membuat seseorang mengalami jumlah angsuran yang meningkat karena floating rate dan suku bunga BI sedang naik. Selain menimbulkan tunggakan, risiko yang paling serius adalah rumah disita bank karena dianggap tidak mampu bayar.
Untuk mencegah hal tersebut, banyak pemilik rumah yang akhirnya melakukan over kredit rumah KPR-nya. Over kredit rumah menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah ini. Namun, tak sedikit juga pemilik dan pembeli melakukan take over di bawah tangan atau hanya notaris/PPAT tanpa melibat bank. Dalam artikel ini, kami akan membahas mengenai risiko take over kredit bawah tangan.
Kelebihan Take Over Melalui Bank
Lazimnya, melakukan take over kredit KPR dilakukan dengan proses alih debitur melalui bank yang sedang berjalan. Pihak penjual dan pembeli akan mengajukan permohonan alih kredit pada bank dengan memenuhi beberapa persyaratan. Setelahnya, bank akan meneliti dan memberikan persetujuan apabila persyaratan telah terpenuhi.
Akan ada perjanjian baru yang mana pihak pembeli akan beralih fungsi menjadi debitur baru sehingga kredit berganti menjadi nama pihak pembeli. Melalui sistem take over melalui bank, sertifikat rumah yang masih jadi jaminan sudah bisa dibalikkan nama atas debitur baru.
Namun, proses take over rumah dengan bank membutuhkan waktu lama karena analisis kredit dan risiko terbesarnya adalah bank menolak pihak pembeli untuk mengambil alih kredit. Hal ini dapat membuat rumah gagal dibeli dan Anda harus menunggu calon pembeli potensial lainnya.
Risiko Take Over KPR Bawah Tangan
Ada istilah take over KPR bawah tangan yang tidak melibatkan bank, tetapi hanya melalui perantara notaris/PPAT. Kedua belah pihak, penjual dan pembeli akan mendatangi notaris/PPAT dengan membawa berkas lengkap untuk mendapatkan Akta Jual Beli (AJB) untuk hak tanah dan bangunan. Peran notaris/PPAT juga akan membuat surat kuasa kepada pihak pembeli untuk melakukan pelunasan sisa cicilan dan melakukan pengambilan sertifikat.
Proses take over kredit KPR yang hanya melibatkan notaris/PPAT memang lebih cepat dan mudah, biaya juga lebih rendah. Hal inilah yang membuat banyak orang melakukan take over di bawah tangan. Namun, Anda sebagai penjual perlu mempertimbangkan terlebih dahulu risikonya.
Ada beberapa risiko take over kredit bawah tangan, baik dari sisi penjual ataupun pembeli, seperti berikut ini.
- Anda sebagai penjual sudah memindahkan hak atas tanah dan bangunan kepada pembeli. Namun, hal ini bukanlah peralihan debitur. Jika pembeli yang sudah diserahkan untuk melanjutkan angsuran setiap bulannya dan melakukan kredit menunggak, maka nama debitur atau penjual akan dihubungi oleh pihak bank. Pasalnya nama debitur yang terdaftar di bank adalah debitur pertama atau Anda sebagai penjual.
- Tidak hanya akan dihubungi oleh pihak bank, risiko lainnya dari sisi penjual adalah skor kredit buruk di SLIK OJK. Hal ini akan mempersulit Anda apabila ingin melakukan kredit lainnya, bahkan bank akan mencatat nama Anda dalam daftar black list.
- Risiko take over kredit KPR bawah tangan juga bisa dialami dari sisi pembeli. Pihak pertama sebagai penjual yang tidak bertanggung jawab, bisa saja melakukan over kredit ke banyak pihak sehingga posisi rumah bisa menjadi masalah atau sengketa.
- Risiko penjual bisa saja menghilang atau sulit dihubungi. Karena take over dilakukan tanpa melibatkan pihak bank, maka sertifikat rumah masih atas nama pihak pertama bahkan setelah pembeli melunasinya. Bisa saja ada risiko pemilik pertama akan menghilang atau sulit dihubungi saat ingin mengambil sertifikat rumah di bank dan proses balik nama.
Penutup
Melihat adanya risiko take over kredit bawah tangan, ada baiknya untuk melakukannya melalui jalur yang aman dengan melibatkan pihak bank dan notaris/PPAT. Hal ini mencegah terjadinya masalah atau sengketa di kemudian hari.
Jualrumah123 sebagai platform jual beli rumah bekas di Jabodetabek, bisa membantu Anda proses take over atau jual rumah ke bank. Jualrumah123 bekerja sama dengan banyak bank besar konvensional dan syariah yang dapat membantu proses menjual rumah atau over kredit lebih mudah, aman, dan transparan. Kunjungi Jualrumah123.id untuk informasi lebih lanjut.